Pertemuan 7 : Menghidupi Doa
Setelah berjalan selama hampir 2 bulan, rangkaian kegiatan Rekoleksi Keluarga Merawat Iman yang dilaksanakan di Paroki Palur, akhirnya sampai juga di bagian pungkasan. Sejak dimulai pada Minggu 21 Juli 2024, dan dilaksanakan selama 7 kali pertemuan setiap hari Minggu berturut-turut, akhirnya pertemuan ketujuh pada tanggal 1 September 2024 lalu menjadi pertemuan yang terakhir. Narasumber pertemuan kali ini adalah Bapak Ignatius Senot Sangadji, yang masih termasuk kategori “orang dalam”, karena beliau adalah umat di Paroki Palur. Pertemuan ketujuh ini mengambil tema “Menghidupi Doa”.
Meskipun dalam kesehariannya Bapak Senot banyak berkecimpung dalam dunia Teknik Sipil, namun beliau tidak berkeberatan menyampaikan materi dengan tema yang “cukup berat” ini. Jadi tidak masalah jika tema “Menghidupi Doa” yang lebih dekat ke cabang ilmu teologi disampaikan oleh seorang dosen Teknik Sipil. Seperti dalam Matius 17:20, bahwa doa yang didasari iman sebesar biji sesawi saja bisa memindahkan gunung, apalagi bangunan-bangunan beton, yang menjadi spesialisasi Pak Senot. Jadi tema pertemuan ketujuh yaitu “Menghidupi Doa”, masih sangat relevan jika disampaikan oleh Pak Senot yang berlatar belakang Teknik Sipil.
Setelah pertemuan dibuka dengan doa oleh Bapak Trigianta, MC kita yang selama ini dikenal trengginas dan sat-set das-des, Bapak Roga, langsung membagi peserta ke dalam kelompok-kelompok untuk saling belajar, tanpa didahului ice breaking-ice breaking-an. Dalam kelompok, setiap peserta membagikan pengalaman-pengalaman mereka dalam penugasan minggu lalu, yaitu mengadakan perbincangan antaranggota keluarga, dan melakukan kunjungan kepada sesama yang membutuhkan perhatian. Sesama yang membutuhkan perhatian ini ruang lingkupnya lebih luas dibandingkan kunjungan yang dilakukan di pertemuan sebelumnya, yaitu sesama yang sakit dan lansia
Dalam pembelajaran kelompok ini, salah satu hal penting yang perlu dipahami dan diusahakan bersama adalah membangun komunikasi yang baik di dalam keluarga. Komunikasi yang baik akan membuat setiap keluarga memahami bahwa mereka mengambil peran yang saling melengkapi dalam perkembangan iman keluarga tersebut. Komunikasi yang baik juga memberikan ruang kepada setiap anggota keluarga untuk saling terbuka, mengajak anggotanya berorientasi pada solusi dibanding masalah, dan memperjuangkan komitmen bersama yang dihayati. Pada akhirnya, komunikasi yang baik dalam keluarga akan membuat setiap anggotanya merasa “at home”, sehingga menjadikan rumah sebagai tempat perhentian, berteduh, dan sukacita keluarga.
Setelah saling belajar bersama dalam kelompok, para peserta kembali ke panti paroki untuk mendengarkan sharing bersama perwakilan umat. Dengan gayanya yang khas, Pak Roga menunjuk 2 keluarga sebagai perwakilan. Mereka yang ditunjuk adalah mereka yang belum pernah tampil ke depan dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya. Keluarga pertama yang mendapat kesempatan adalah keluarga Bapak Andi. Dengan gaya bertutur yang otentik, keluarga ini menceritakan pergumulan-pergumulan keluarga hingga akhirnya mengikuti rekoleksi ini. Meskipun awalnya keluarga ini ditunjuk oleh Ketua Lingkungan untuk mengikuti rekoleksi, pada akhirnya mereka juga menemukan kebahagiaan dan buah-buah rohani setelah mengikuti rekoleksi ini. Dari pertemuan pertama hingga ketujuh, keluarga ini selalu hadir. Sharing yang disampaikan secara santai dan diselingi gelak tawa ini, juga memberi pemaknaan yang mendalam. Keluarga ini juga merasakan sapaan-sapaan Tuhan yang begitu halus namun menggerakkan melalui umat di Paroki Palur yang benar-benar nyedulur.
Baca Juga : Doa Kedamaian Keluarga
Keluarga berikutnya yang mendapatkan kesempatan membagikan pengalaman adalah keluarga Bapak Febri. Keluarga ini juga selalu hadir tanpa pernah absen sekalipun. Walaupun pada awalnya juga diminta oleh Ketua Lingkungan untuk mengikuti rekoleksi, tetapi pada akhirnya juga dapat menemukan makna yang mendalam, sekaligus berharap kegiatan rekoleksi ini dapat menjadi program rutin dan berkelanjutan di Paroki Palur. Dalam bahasa kekinian, keluarga ini juga berharap bahwa selanjutnya akan ada rekoleksi seasion berikutnya. Tentu saja jika harapan ini bisa terwujudkan, keluarga ini (harus) siap terlibat menjadi panitianya. Keluarga ini melihat bahwa metode pembelajaran dalam bentuk pemaparan materi dan sharing kelompok merupakan sebuah metode pembelajaran yang menyenangkan, karena dapat menambah sekaligus memperkaya wawasan keluarga.
Selanjutnya giliran Pak Senot yang menyampaikan materi “Menghidupi Doa”. Pak Senot mengawali bagian ini dengan mengajak peserta rekoleksi untuk memegang buku pegangan yang dimiliki setiap keluarga (sesuai dengan namanya, buku pegangan…). Dari situ Pak Senot mengajak peserta untuk mengecek buku pegangan tersebut, bahwa hampir separuhnya berisi doa-doa. Pak Senot mengajak peserta untuk mulai mendoakan doa-doa yang sudah disediakan oleh Romo Bondhan tersebut (tentu saja di rumah, bukan di panti paroki..).
Dalam pendalaman materinya, Pak Senot menyampaikan bahwa walaupun tidak ideal, berdoa tidak harus dimulai dari hati, karena doa adalah anugerah Tuhan. Selain itu, doa juga dapat bertolak dari Kitab Suci. Tradisi iman Katolik menempatkan relasi Tuhan dan umat-Nya sebagai relasi orangtua dan anak, sehingga kita menyebut Tuhan dalam doa sebagai Bapa. Maka dalam iman Katolik, doa adalah sarana untuk berkomunikasi langsung dengan Sang Bapak yang adalah Sang Sumber Hidup.
Dalam doa yang diajarkan oleh Yesus sendiri, yaitu doa “Bapa Kami”, Tuhan memahami 2 kebutuhan mendasar manusia, yaitu makan dan pengampunan. Sehingga doa bukan hanya masalah meminta atau memohon juga, tetapi juga sebagai ungkapan iman, pujian, dan syukur kepada Tuhan. Maka doa dalam tradisi iman Katolik memerlukan sebuah sikap ketaatan dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Doa juga memerlukan sebuah sikap hening, di mana kita mempersilahkan Tuhan untuk berkata-kata kepada kita (bukan kita yang terus berkata-kata). Doa tertulis dan hafalan tetap dibutuhkan, karena membantu umat untuk tetap terhubung (stay connected) kepada Tuhan dalam berbagai situasi. Namun berlandaskan pada kutipan Injil Matius 6:7-8, doa yang baik bukanlah doa yang bertele-tele, karena Bapamu mengerti apa yang kamu perlukan.
Dalam tradisi Katolik, juga dikenal keunikan yang lain, yaitu tata keselamatan tidak hanya melibatkan yang Ilahi, tetapi juga Manusiawi. Maka sosok Yesus ditempatkan dalam identitas sebagai Ilahi, sekaligus Manusiawi. Tradisi Katolik juga mengenal istilah Per Mariam Ad Jesum (melalui Maria menuju Yesus). Maka, karya keselamatan Allah di dunia juga melibatkan manusia. Maria menjadi salah satu contoh nyata bagaimana Allah melibatkan manusia untuk mewujudkan karya keselamatan-Nya. Dalam berbagai peristiwa, Maria memberi teladan bagaimana karya keselamatan tersebut tidak melulu berfokus pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain, dengan memperhatikan sesama yang membutuhkan. Sehingga, doa tidak hanya menjadi urusan diri sendiri dan Tuhan, tetapi juga mengajak kita untuk peduli kepada sesama dalam doa-doa kita.
Dan di akhir pemaparan materinya, Pak Senot mengajak setiap keluarga untuk mengecek kembali spare parts seperti yang dilakukan pada pertemuan yang pertama. Bertolak dari pengecekan tersebut, Pak Senot memberikan beberapa pertanyaan refleksi sebagai berikut :
- Apakah ada perbedaan nilai antara pengecekan di pertemuan pertama dan pertemuan ketujuh?
- Nilai-nilai apa saja yang berkembang?
- Apa buah-buah rohani yang diperoleh?
- Kebiasaan apa saja yang akan dikembangkan lagi di dalam keluarga?
Dan pada akhir pertemuan ini, Pak Senot mengajak setiap keluarga untuk saling mendoakan pasangan masing-masing, maupun anggota keluarga yang lain.
Setelah pendalaman materi oleh Pak Senot. Giliran Romo Bondhan memberikan penegasan. Dalam penegasannya, Romo Bondhan menyampaikan bahwa beliau merasa sangat bergembira, bahwa kegiatan rekoleksi ini dikerjakan dengan sungguh-sungguh di Paroki Palur. Romo Bondhan berharap agar kegiatan ini bisa sampai ke hulu (melihat ke bagian mengapa kegiatan ini harus dan perlu dilakukan), bukan kepada hilirisasi seperti saat ini (melihat ke jumlah peserta, kesediaan modul, dll). Dari kegiatan ini juga terbangun kesadaran baru, bahwa Gereja menggarap keluarga-keluarga dengan serius.
Romo Bondhan juga menyampaikan bahwa kegiatan ini menyadarkan kembali, bahwa keluarga merupakan katekis pertama dan utama. Dan ini semua hanya bisa diajarkan dengan melatihkan anggota-anggota keluarga melalui doa dan karya. Kegiatan ini juga memberi kesadaran baru yaitu anak-anak perlu diformat menjadi orang Katolik yang tekun dan setia. Romo Bondhan juga menegaskan, penugasan yang diberikan jangan hanya dilihat semata sebagai tugas ataupun kewajiban, tetapi sebagai panggilan. Karena untuk itulah kita dibaptis.
Setelah Romo Bondhan, giliran Ibu Sylvi menceritakan pengalaman bagaimana kegiatan rekoleksi ini disiapkan, ditanggapi, dan didukung oleh berbagai pihak, mulai dari Romo Sunu selaku Romo Paroki Palur, Romo Bondhan dari Komkat Kevikepan Surakarta, hingga para personil lain di Paroki Palur, menembus batas-batas Tim Pelayanan, dan kolaborasi antara Bidang Pewartaan dan Evangelisasi dengan Bidang Paguyuban dan Persaudaraan. Untuk itu beliau mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah mendukung dan terlibat aktif dalam kegiatan ini
Acara selanjutnya digunakan untuk pemberian hadiah kepada para pemenang kuis di pertemuan keempat, dan cindera mata kepada para narasumber. Selain itu juga diberikan kenang-kenangan kepada berupa gantungan kunci para peserta rekoleksi. Semoga kenang-kenangan ini dapat memberikan semangat baru kepada para peserta yang mengikuti kegiatan ini.
Sebelum acara ditutup dengan doa, foto bersama, dan makan bersama, giliran Romo Sunu selaku Romo Paroki Palur menyampaikan peneguhan. Sebelum menyampaikan peneguhan, Romo Sunu memperkenalkan Frater Benedictus Adiatma Murti Wibowo, atau yang akrab disapa Frater Bene, kepada peserta rekoleksi yang hadir. Frater Bene akan menjalani tahun pastoral di Paroki Palur selama beberapa bulan ke depan, maka mohon dukungan umat untuk frater kita yang satu ini. Frater Bene juga termasuk kategori COGAN (Cowok Ganjuran), seperti halnya Romo Sunu, karena berasal dari Paroki tersebut.
Dalam peneguhan yang disampaikan, Romo Sunu menggarisbawahi pernyataan Romo Bondhan, bahwa keluarga merupakan katekis pertama dan utama. Pernyataan ini tentu bukan hanya kalimat standar, karena Romo Sunu menyampaikan hal ini, berangkat dari pengalaman beliau ketika kecil. Bahwa keluarga dan lingkungan pendidikan akan membentuk cara berpikir seseorang, yang nanti akan berdampak pada cara bersikap dan cara bertindak. Bahwa perhatian orangtua akan menentukan masa depan anak-anak. Pengalaman masa kecil Romo Sunu yang moncer di sekolah negeri, namun oleh orangtua beliau dirasa tidak berkembang sehingga dipindahkan ke sekolah Katolik. Ketika pindah sekolah sempat terseok-seok di awalnya, namun pada akhirnya bisa menjadi seorang imam yang melayani umat dalam Gereja Katolik (khususnya di Palur saat ini), menjadi pertanda, bahwa keluarga-keluarga menjadi sarana dalam mewartakan Kerajaan Allah. Rasa-rasanya, apa yang disampaikan Romo Sunu ini hampir mirip isi dan pesannya dengan tulisan saya beberapa hari yang lalu dengan judul “Kenapa harus SMK Mikael?” (bisa dibaca di sini, https://www.ikami.org/kenapa-harus-smk-mikael/ ).
Dan akhirnya kegiatan rekoleksi ini ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Bapak Erwan, foto bersama dan sekaligus makan bersama yang diikuti seluruh panitia dan peserta rekoleksi. Terima kasih untuk seluruh panitia dan peserta kegiatan Rekoleksi Keluarga Merawat Iman, sampai jumpa di kegiatan selanjutnya. Salam, Doa dan Berkah Dalem.
Penulis : Alexander Arief R