Pertemuan 4 : Hidup Menggereja
Setelah di pertemuan pertama hingga ketiga, Rekoleksi Keluarga Merawat Iman di Paroki Palur selalu didampingi oleh Romo Bondhan, untuk pertemuan yang keempat ini Romo Bondhan absen karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk bisa hadir di Palur. Meskipun demikian, narasumber untuk pertemuan kali ini juga tidak kalah menarik, yaitu Bapak Yohanes Adventus David Christian, yang akrab disapa Mas David, dari Komisi Kateketik Kevikepan Surakarta. Kehadiran Mas David kali ini sebagai narasumber pertemuan keempat rekoleksi yang mengambil tema “Hidup Menggereja”.
Mengingat di bulan Agustus ini banyak kegiatan di masyarakat, terkait dengan perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia ke 79, hal ini berbanding lurus dengan kehadiran peserta. Jika di pertemuan pertama peserta yang hadir sejumlah 44 keluarga, di pertemuan kedua dan ketiga jumlahnya menurun, masing-masing menjadi 37 keluarga. Di pertemuan keempat ini yang hadir semakin menurun lagi menjadi 27 keluarga. Meskipun demikian, masih tampak wajah-wajah keluarga yang konsisten hadir dari pertemuan pertama sampai keempat ini.
Tidak hanya peserta saja, beberapa panitia pun juga belum bisa bergabung pada pertemuan keempat ini, karena berbagai keperluan. Tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat peserta yang hadir untuk tetap mengikuti rekoleksi ini dari awal hingga akhir. Pertemuan keempat ini dibuka oleh Ibu Mathea, dan dilanjutkan dengan pengantar materi yang disampaikan oleh Pak Alex, menggantikan MC andalan kegiatan ini, Pak Roga, yang ijin hadir terlambat. Dalam pengantar disampaikan sedikit review tentang penugasan di pertemuan sebelumnya. Bahwa di pertemuan sebelumnya setiap keluarga diajak untuk mengadakan perbincangan dengan topik yang berbeda. Perbincangan pertama terkait dengan hal-hal yang patut disyukuri di dalam keluarga. Perbincangan kedua terkait dengan orang-orang yang tidak suka (menjadi “musuh”…) dalam keluarga, dan bagaimana cara untuk menghadapi orang-orang seperti itu. Yang ketiga adalah tentang dosa berat yang pernah dilakukan, dan bagaimana cara yang dijalani untuk bertobat. Topik-topik ini kemudian menjadi bahan diskusi dalam kelompok, yang dalam pertemuan kali ini karena pesertanya tidak banyak, hanya dibagi menjadi 4 kelompok. Diskusi kelompok ini tentunya bukanlah sebuah “pengakuan dosa”, sehingga setiap keluarga tidak perlu membuka aib di dalam kelompok ataupun menelanjangi kesalahan orang lain, cukup menjelaskan bagaimana pergerakan batin yang dirasakan setelah berbincang-bincang dengan 3 topik tersebut.
Dalam diskusi kelompok yang semakin gayeng, para peserta bisa saling belajar dari para peserta lain tentang pergulatan batin yang dialami oleh setiap keluarga. Dan setelah diskusi kelompok, semua peserta kembali ke Panti Paroki. Dua orang perwakilan peserta selanjutnya membagikan pengalaman-pengalaman mereka di dalam kelompok besar. Kedua orang tersebut tentunya belum pernah tampil ke depan, di dalam kesempatan rekoleksi ini. Kedua orang tersebut adalah Mas Rian dari Lingkungan Margaretha dan Mas Kliwon dari Lingkungan Yohanes Maria Vianney. Sosok Mas Kliwon ini tentu menjadi salah seorang legenda hidup di Paroki Palur, karena semua umat paroki ini, baik yang tua dan yang muda, anak-anak, bahkan sampai semua romo paroki yang berkarya di Palur, selalu memanggil beliau dengan sebutan “mas..”. Jauh sebelum istilah ini dipoluperkan oleh “mas mentri”maupun “mas wali”, Paroki Palur sudah punya “Mas Kliwon”.
Selanjutnya giliran Mas David memberikan pengayaan kepada para peserta rekoleksi. Dalam pemaparannya disampaikan latar belakang mengapa materi ini menjadi penting untuk keluarga-keluarga Katolik. Alasan yang paling mendasar adalah karena banyak keluarga-keluarga yang lepas dari Gereja (meskipun tetap ber-KTP Katolik). Mereka hanya hadir dalam perayaan-perayaan selebrasi seperti Ekaristi, tetapi tidak terlibat dalam reksa pastoral di setiap paroki. Gereja hanya dimaknai sebagai bangunan Gedung yang sering disebut “rumah Tuhan”, namun tidak dimaknai sebagai paguyuban orang-orang beriman. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah, Gereja membutuhkan umat, sekaligus umat membutuhkan Gereja. Dengan jumlah imam yang tidak sebanding dengan jumlah umat, tidak mungkin jika reksa pastoral di setiap paroki hanya mengandalkan kepada romo parokinya saja.
Pemahaman akan hal ini menjadi sebuah hal penting. Karena Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus adalah Gereja yang satu dan kudus, dengan Kristus sebagai Kepala dan yang lain sebagai anggotanya. Gereja yang apostolik menjadi Gambaran tentang gereja yang bertekun dalam keadaan apapun, sebagai warisan dari para rasul. Untuk itulah, Gereja Katolik hadir secara terbuka kepada segala bangsa, sekaligus terbuka untuk membangun dialog dengan agama maupun kebudayaan yang lain.
Setiap orang Katolik yang dibaptis, memiliki konsekuensi untuk mengemban Tri Tugas Kristus sebagai Imam, Nabi, dan Raja. Sebagai imam berati terlibat untuk menguduskan. Sebagai nabi berarti terlibat untuk mewartakan iman. Dan sebagai raja berarti siap melayani. Dan pada akhirnya semua orang Katolik diajak untuk menjadi warga Gereja yang baik, yang menjadi bagian dari karya keselamatan Yesus Kristus.
Setelah materi disampaikan, Mas David memberikan evaluasi bagi peserta dalam bentuk kuis dengan menggunakan aplikasi Kahoot. Dan selanjutnya panitia memberikan kesempatan kepada keluarga Mas Brian dan Mas Kliwon, untuk memberikan testimoni mewakili peserta yang konsisten hadir di 4 pertemuan ini. Dan sebagai apresiasi, panitia memberikan kenang-kenangan kepada keluarga-keluarga yang konsisten hadir dalam keempat pertemuan rekoleksi ini.
Sebelum pertemuan ini ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Bapak Setia Agung, tugas untuk peserta rekoleksi adalah mengindentifikasi dan mencatat keterlibatan setiap anggota keluarga dalam kegiatan menggereja. Keterlibatan apapun tetap bermakna dan patut dicatat. Dan bagi peserta yang memiliki putra-putri yang masih balita, diajak untuk melibatkan mereka dalam pertemuan-pertemuan di lingkungan maupun wilayah
Kesimpulan pertemuan keempat ini adalah “Setiap orang Katolik diajak untuk terlibat dalam hidup menggereja. Karena hidup menggereja tidak hanya terbatas dalam pengungkapan iman, namun menjadi perwujudan iman…”
Penulis : Alexander Arief R